Wednesday 10 April 2013

Lembaga Keuangan Konvensional Haram?


www.eramuslim.com
Rabu, 27 Agu 08 00:08 WIB
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang saya hormati. Maaf, langsung saja ya. Beberapa waktu yang lalu saya membaca topik mengenai ‘Ritual Pindah Rumah’ di rubrik kita ini, dan saya sangat tertegun. Tertera bahwa rumah kita sedapat mungkin terhindar dari hubungan dengan lembaga keuangan konvensional.
Saya ingin mengetahui lebih lanjut, apakah MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa lembaga tersebut haram?
Karena tak jarang, ustadz (atau minimal orang yang mumpuni dari segi agama) yang bekerja di lembaga tersebut. Termasuk saya pribadi yang masih awam dalam segi agama bekerja di bank konvensional. Mohon pencerahan lebih lanjut?
Apakah sesegera mungkin saya harus mencari pekerjaan lain yang tidak menimbulkan kontroversi? Terima kasih.
Wassalamu'alaikum,
Sabariman
berkah
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Lembaga keuangan konvensional telah dinyatakan haram oleh semua ulama di dunia, termasuk juga oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu haram hukumnya bagi umat Islam untuk masih saja terlibat dengan lembaga-lembaga yang menjalankan praktek yang bertentangan dengan hukum Allah SWT.
Bunga bank konvensional yang diberlakukan oleh lembaga-lembaga itu adalah harta yang sejatinya haram. Kalau sampai tetap dijalankan juga, apalagi sampai masuk ke dalam perut, tentunya akan menghilangkan barakah pada diri kita.
Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), KH Ma'ruf Amin, menyatakan bahwa status hukum bunga bank yang haram menurut syariat Islam, tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan fatwa itu sudah dikeluarkan MUI sejak tahun 2000. Saat dikeluarkannya fatwa tersebut, bank syariah belum sebanyak sekarang. Oleh karenanya, fatwa haram tersebut tidak mutlak atau umat Islam masih diperbolehkan menggunakan sistem bunga. Sifatnya darurat, karena bank syariah belum banyak.
Setelah kini banyak bank syariah berdiri maka MUI mencabut status darurat tersebut. MUI menyatakan bahwa ulama dan perbankan syariah menganggap saat ini, dengan banyaknya bank syariah berdiri, sudah tidak tepat lagi masih diberlakukannya kondisi darurat.
Di antara lembaga dunia Islam yang secara tegas mengharamkan bunga riba adalah:
1.    Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo sejak tahun 1965
2.    Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985
3.    Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H.
4.    Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983
5.    Fatwa Mufti Mesir tahun1989 yang telah menyepakati bahwa bunga’ bank adalah riba.
Hukum Bekerja di Lembaga Keuangan Konvensional
Sebagian ulama muslim, seperti Dr. Yusuf Al-Qaradawi, memberikan rukhsoh (keringanan) dalam kebolehan bekerja di bank-bank konvensional. Asalkan dengan alasan-alasan yang bisa diterima, serpti kedaruratan dan tidak adanya lagi tempat untuk mendapat rizqi saat itu.
Hal-hal yang meringangkan di antaranya adalah bahwa tidak semua transaksi di perbankan tersebut haram. Ada transaksi-transaksi lain yang dibolehkan seperti; penukaran mata uang, transfer, jasa penitipan di deposit box dan lain-lain.
Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:
"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR Bukhari)
Memang benar bahwa riba itu haram dan ulama telah sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan. Ayat dan hadits tentang itu sudah cukup banyak dan kita sepakat dengan itu semua. Namun yang perlu kita sadari juga adalah bahwa lembaga keuangan konvensional itu telah sedemikian menjamur di negeri Islam, sehingga sekedar memfatwakan keharaman bekerja pada bank itu, belum tentu bisa mengikis keberadaan bank itu.
Dalam kondisi itu, yang kita butuhkan adalah sebuah proses. Dan Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.
Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Di sisi lain, Islam melarang seseorang melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan seseorang untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT:
..." Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah: 173)
Bila sekian ratus ribu muslimin yang sekarang bekerja di bank konvensional tiba-tiba berhenti dan kehilangan penghasilan (ma’isyahnya), siapakah yang akan menghidupi keluarga mereka? Sedangkan kalangan produsen muslimin belum bisa memberikan alternatif pekerjaan lain dengan jumlah yang memadai untuk menampung semua karyawan tadi. Lalu akakah kita akan membiarkan sekian juta muslimin kelaparan tanpa ada alternatif jelas untuk mengatasinya?
Ada juga faktor strategis lainnya yang perlu dipertimbangkan. Yaitu bila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Jalan keluar terbaik memang dengan mendirikan bank Islam atau bank syariah. Namun secara logika angka, daya serap lowongan pekerjaan pada bank-bank itu belum sebanding dengan pekerja di bank konvensional yang ada. Sehingga bila kita fatwakan keharaman mutlak untuk bekerja pada bank konvensional, kita masih belum bisa memberikan alternatif jalan keluar yang real untuk mereka menyambung hidup.
Karena itu kalau kita ingin mengatakan bahwa bekerja di bank konvensional itu haram, maka perlu dilihat terlebih dahulu tentang alternatif pekerjaan seseorang. Bila di depan matanya ada lowongan pekerjaan lain yang halal dan pasti, maka wajiblah baginya untuk berhenti dari bank konvensional. Tapi bila setelah berhenti, keluarganya malah terlantar, tentu ini adalah madharat. Begitu juga dengan ikut menyukseskan bank konvensional adalah madharat. Dalam konteks ada dua madharat yang sama sekali tidak bisa dihindarkan, maka kita diminta untuk memimilih yang madharatnya lebih kecil.
Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment