Wednesday 10 April 2013

M. Al-Khaththath: Ahmadiyah Itu Bagian dari Kolonialis Inggris


www.eramuslim.com
Selasa, 22 Apr 08 18:15 WIB
Jemaat Ahmadiyah jelas bukan bagian dari umat Islam Indonesia alias non-Muslim. Jika mereka tetap ngotot minta dianggap Muslim, maka mereka harus membuang Mirza Ghulam Ahmad dan Kitab Tadzkirahnya. Ini harga mati.

Forum Umat Islam (FUI) merupakan salah satu ormas garda depan yang berupaya memberi pencerahan pada umat Islam Indonesia dalam hal ini. Sebab itu, guna mengelaborasi masalah Ahmadiyah ini maka eramuslim mewawancarai Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath. Berikut petikannya:
Bisa ustadz jelaskan di mana letak kesesatan Ahmadiyah?
Orang yang pertama membuat pengakuan adalah Mirza Ghulam Ahmad, ia membuat pengakuan bahwa dirinya adalah seorang nabi. Dalam pandangan Islam jelas bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, nah itu yang menimbulkan kekesalan di India, daerah asal Mirza Ghulam Ahmad. Pada waktu dalam penjajahan Inggris, Pakistan berusaha untuk memerdekakan negeri Islam di India. Sebenarnya di India itu negara Islam karena yang berkuasa kaum muslimin, meskipun penduduk aslinya beragama Hindu.
Inggris masuk ke India, kekuasaan diambil-alih Inggris. Kemudian dari ajaran Mirza, yang membuat kita menduga kuat bahwa ajaran Ahmadiyah itu buatan Inggris, karena para pengikutnya dilarang untuk berjihad melawan pemerintahan Inggris. Dari sini kita bisa melihat, bahwa mereka adalah bagian dari kolonialis.
Keberadaan Ahmadiyah di Pakistan ditentang rakyatnya sendiri sehingga mereka memindahkan markas besarnya ke London.
Penyimpangannya seperti apa?
Sudah tampak jelas sekali, tidak benar kalau ada yang mengatakan ini khilafiyah. Karena urusan nabi palsu ini adalah hal yang pokok, mendasar, dan sudah ada sejak dulu.
Dari segi ajaran Islam, mereka sudah melanggar sesuatu yang sudah ada dalam Al- Quran Surat Al-Ahzab ayat 40 yang artinya, 'tidaklah Muhammad itu bapak dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tapi tiadalah dia merupakan rasulullah dan penutup para nabi'.
Ahmadiyah itu mengarang-karang bahwa khatamuun nabiyiin di situ bukan penutup para nabi, tapi sebagai stempel kenabian atau cap kenabian, ini karangan mereka. Padahal dalam hadis sudah jelas, hadis Imam Ahmad At-Tawuud, Imam Turmudzi, maupun Imam Bukhori, menyebutkan 'aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi sesudahku'. Jelas dalam hadis Bukhori, yang mengatakan, tidak ada nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah.
Pada zaman Rasul bagaimana cara mengatasi persoalan nabi palsu. supaya saat ini umat Islam mempunyai refensi yang benar?
Orang yang mengaku dirinya sebagai nabi adalah kesesatan, dan apabila dia menyampaikan kepada orang lain, statusnya menjadi penyesatan. Karena pada zaman Rasulullah itu sudah ada contohnya orang yang bernama Musailamah menulis surat kepada Rasulullah. Surat berbunyi, 'surat dari Musailamah rasulullah, kepada Muhammad rasulullah', kemudian Muhammad SAW membalas dengan 'Surat dari Rasulullah ditujukan kepada Musailamah sang pembohong'. Beberapa hadis lain menyatakan, 'kalau sekiranya Muhammad memberikan pangkat kenabian padaku sesudahnya, maka aku akan mengikuti dia'. Artinya apa kalau Muhammad SAW tidak memberikan pangkat kenabian itu kepadanya, dia tidak akan mengikuti Nabi Muhammad berarti dia murtad. Nabi SAW pun berkata,
'Andaikan kau meminta pelepah kurma ini aku tidak akan berikan'. Ya pelepah kurma saja tidak diberikan, apalagi pangkat kenabian, 'karena pangkat kenabian itu tidak bisa diberikan atau diwariskan, tapi itu adalah kehendak Allah SWT'. Kemudian ada dua pengikut Musailamah dari daerah yang letaknya sangat jauh Madinah menyampaikan surat kepada Rasul, lalu Rasul bertanya,
'Apakah kalian bersaksi aku adalah Rasulullah, lalu keduanya menjawab kami bersaksi Musailamahlah Rasulullah' jadi mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, baik Musailamah dan pengikutnya yang berjumlah 41 ribu dari kalangan suku bani Hanifah, mereka murtad, padahal sebelumnya mereka muslim. Karena mereka murtad, maka Rasulullah mengatakan lagi kepada utusan itu 'kalau seandainya aku adalah kepala negera yang membunuh utusan, pasti kalian berdua akan aku bunuh', tapi ada kesepakatan saat yang mengatakan utusan tidak boleh dibunuh.
Hadist ini dipahami oleh para oleh sahabat bahwa hukuman untuk para pengikut Musailamah dan termasuk dua utusan tidak pada posisi sebagai utusan adalah mereka dihukum mati. Ketika khalifah Abu Bakar, ketika kelompok Musailamah Al-Khalzab bersatu dengan kelompok murtadin, lalu kelompok murtadin ini bahu membahu untuk membangkang pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, kemudian Abu Bakar mengangkat panglima untuk menyampaikan ultimatum dari khalifah kepada mereka, agar segera kembali kepada Islam.
Kemudian keluar ayat terjemahan berbunyi "Tidaklah Muhammad itu melainkan hanya sekedar seorang rasul, telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau, kalau sekiranya Muhammad itu wafat, maka kalian berpaling ke belakang (murtad)." Ayat ini yang dipakai khalifah Abu Bakar untuk mengembalikan kaum murtadin ke pangkuan Islam dan menjalankan syariat Islam yang diyakini sebelumnya, apabila mereka menolak bertobat tidak mau kembali kepada Islam maka hukumannya adalah hukuman mati, tanpa pandang bulu. Tapi bagi mereka bertobat, dan diterima kembali sebagai pemeluk Islam.
Apakah pemerintah harus melakukan seperti contoh para sahabat zaman Rasulullah?
Meskinya pemerintah muslim menangani dengan cara-cara seperti itu, contoh di atas memberikan gambaran bahwa nabi palsu bukan baru kemarin, bukan baru Mirza Ghulam Ahmad, di zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada, di zaman khulafaurasyiddin sudah ada.
Jangan dibiarkan ada, sebab kalau dibiarkan ada, mereka sangat membahayakan bagi umat Islam, karena mereka melakukan pemurtadan. Jadi contoh di atas, merupakan landasan syari'i yang harus diambil terhadap orang Ahmadiyah. Itu sudah jelas, itu sudah nyata jangan diplintir-plintir ke sana kemari.
Kalau penyelesaian melalui jalan pengadilan seperti yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi?
Kalau mau pengadilan ya pengadilan yang merujuk pada syariat, tapi yang mau diadili apanya. Kalau yang mau diadili sesat atau tidak sesat, mereka jelas sudah sesat, menurut syariat Islam, orang yang sesat harus diminta bertobat, mereka sudah murtad.
Mereka diajak kembali kepada Islam, gampangnya itu saja. Kalau diadili, tapi tetap dalam kemurtadanya buat apa diadili,
Apanya yang diadili. Jadi mereka diajak kembali masuk kepada Islam, kalau diajak tidak mau, ya menurut syariat Islam hukumnya dihukum mati. Kalau mau diadili harus ada Mahkamah Syariah seperti ini, baru bisa. Kalau pengadilannya tidak bisa menilai benar dan tidak sesuai syariah Islam ya susah. Janganlah merusak ajaran Islam dengan ketidakjelasan. Kita sudah pengalaman dalam kasus Playboy, dibawa ke pengadilan tapi keputusannya tidak jelas. Yang mengatakan tuntutan tidak bisa diterima karena KUHP tidak berlaku, harus mengikuti UU Pers, ya bagaimana kalau terulang seperti tidak akan ada penyelesaiannya. (novel)

No comments:

Post a Comment