www.eramuslim.com
Selasa,
22 Apr 08 18:15 WIB
Jemaat Ahmadiyah jelas bukan
bagian dari umat Islam Indonesia
alias non-Muslim. Jika mereka tetap ngotot minta dianggap Muslim, maka mereka
harus membuang Mirza Ghulam Ahmad dan Kitab Tadzkirahnya. Ini harga mati.
Forum Umat Islam (FUI)
merupakan salah satu ormas garda depan yang berupaya memberi pencerahan pada
umat Islam Indonesia
dalam hal ini. Sebab itu, guna mengelaborasi masalah Ahmadiyah ini maka
eramuslim mewawancarai Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath. Berikut petikannya:
Bisa ustadz jelaskan di mana
letak kesesatan Ahmadiyah?
Orang yang pertama membuat
pengakuan adalah Mirza Ghulam Ahmad,
ia membuat pengakuan bahwa
dirinya adalah seorang nabi. Dalam pandangan Islam jelas bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah nabi terakhir, nah itu yang menimbulkan kekesalan di India, daerah
asal Mirza Ghulam Ahmad. Pada waktu dalam penjajahan Inggris, Pakistan
berusaha untuk memerdekakan negeri Islam di India. Sebenarnya di India itu
negara Islam karena yang berkuasa kaum muslimin, meskipun penduduk aslinya
beragama Hindu.
Inggris masuk ke India,
kekuasaan diambil-alih Inggris. Kemudian dari ajaran Mirza, yang membuat kita
menduga kuat bahwa ajaran Ahmadiyah itu buatan Inggris, karena para pengikutnya
dilarang untuk berjihad melawan pemerintahan Inggris. Dari sini kita bisa melihat, bahwa
mereka adalah bagian dari kolonialis.
Keberadaan
Ahmadiyah di Pakistan ditentang rakyatnya sendiri sehingga mereka memindahkan
markas besarnya ke London.
Penyimpangannya seperti apa?
Sudah
tampak jelas sekali, tidak benar kalau ada yang mengatakan ini khilafiyah.
Karena urusan nabi palsu ini adalah hal yang pokok, mendasar, dan sudah ada
sejak dulu.
Dari
segi ajaran Islam, mereka sudah melanggar sesuatu yang sudah ada dalam Al-
Quran Surat Al-Ahzab ayat 40 yang artinya, 'tidaklah Muhammad itu bapak dari
salah seorang laki-laki di antara kalian, tapi tiadalah dia merupakan
rasulullah dan penutup para nabi'.
Ahmadiyah
itu mengarang-karang bahwa khatamuun nabiyiin di situ bukan penutup para
nabi, tapi sebagai stempel kenabian atau cap kenabian, ini karangan mereka.
Padahal dalam hadis sudah jelas, hadis Imam Ahmad At-Tawuud, Imam Turmudzi,
maupun Imam Bukhori, menyebutkan 'aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada
nabi sesudahku'. Jelas dalam hadis Bukhori, yang mengatakan, tidak ada nabi
sesudahku, yang ada adalah para khalifah.
Pada zaman Rasul bagaimana cara mengatasi persoalan nabi palsu. supaya saat
ini umat Islam mempunyai refensi yang benar?
Orang
yang mengaku dirinya sebagai nabi adalah kesesatan, dan apabila dia
menyampaikan kepada orang lain, statusnya menjadi penyesatan. Karena pada zaman
Rasulullah itu sudah ada contohnya orang yang bernama Musailamah menulis surat
kepada Rasulullah. Surat berbunyi, 'surat dari Musailamah rasulullah, kepada
Muhammad rasulullah', kemudian Muhammad SAW membalas dengan 'Surat dari
Rasulullah ditujukan kepada Musailamah sang pembohong'. Beberapa hadis lain
menyatakan, 'kalau sekiranya Muhammad memberikan pangkat kenabian padaku
sesudahnya, maka aku akan mengikuti dia'. Artinya apa kalau Muhammad SAW tidak
memberikan pangkat kenabian itu kepadanya, dia tidak akan mengikuti Nabi
Muhammad berarti dia murtad. Nabi SAW pun berkata,
'Andaikan
kau meminta pelepah kurma ini aku tidak akan berikan'. Ya pelepah kurma saja
tidak diberikan, apalagi pangkat kenabian, 'karena pangkat kenabian itu tidak
bisa diberikan atau diwariskan, tapi itu adalah kehendak Allah SWT'. Kemudian
ada dua pengikut Musailamah dari daerah yang letaknya sangat jauh Madinah
menyampaikan surat kepada Rasul, lalu Rasul bertanya,
'Apakah
kalian bersaksi aku adalah Rasulullah, lalu keduanya menjawab kami bersaksi
Musailamahlah Rasulullah' jadi mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Oleh
karena itu, baik Musailamah dan pengikutnya yang berjumlah 41 ribu dari
kalangan suku bani Hanifah, mereka murtad, padahal sebelumnya mereka muslim.
Karena mereka murtad, maka Rasulullah mengatakan lagi kepada utusan itu 'kalau
seandainya aku adalah kepala negera yang membunuh utusan, pasti kalian berdua
akan aku bunuh', tapi ada kesepakatan saat yang mengatakan utusan tidak boleh
dibunuh.
Hadist
ini dipahami oleh para oleh sahabat bahwa hukuman untuk para pengikut
Musailamah dan termasuk dua utusan tidak pada posisi sebagai utusan adalah
mereka dihukum mati. Ketika khalifah Abu Bakar, ketika kelompok Musailamah
Al-Khalzab bersatu dengan kelompok murtadin, lalu kelompok murtadin ini bahu
membahu untuk membangkang pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, kemudian Abu Bakar
mengangkat panglima untuk menyampaikan ultimatum dari khalifah kepada mereka,
agar segera kembali kepada Islam.
Kemudian
keluar ayat terjemahan berbunyi "Tidaklah Muhammad itu melainkan hanya
sekedar seorang rasul, telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau, kalau
sekiranya Muhammad itu wafat, maka kalian berpaling ke belakang (murtad)."
Ayat ini yang dipakai khalifah Abu Bakar untuk mengembalikan kaum murtadin ke
pangkuan Islam dan menjalankan syariat Islam yang diyakini sebelumnya, apabila
mereka menolak bertobat tidak mau kembali kepada Islam maka hukumannya adalah
hukuman mati, tanpa pandang bulu. Tapi bagi mereka bertobat, dan diterima
kembali sebagai pemeluk Islam.
Apakah pemerintah harus melakukan seperti contoh para sahabat zaman
Rasulullah?
Meskinya
pemerintah muslim menangani dengan cara-cara seperti itu, contoh di atas
memberikan gambaran bahwa nabi palsu bukan baru kemarin, bukan baru Mirza
Ghulam Ahmad, di zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada, di zaman khulafaurasyiddin
sudah ada.
Jangan
dibiarkan ada, sebab kalau dibiarkan ada, mereka sangat membahayakan bagi umat
Islam, karena mereka melakukan pemurtadan. Jadi contoh di atas, merupakan
landasan syari'i yang harus diambil terhadap orang Ahmadiyah. Itu sudah jelas,
itu sudah nyata jangan diplintir-plintir ke sana kemari.
Kalau penyelesaian melalui jalan pengadilan seperti yang disarankan oleh
Mahkamah Konstitusi?
Kalau
mau pengadilan ya pengadilan yang merujuk pada syariat, tapi yang mau diadili
apanya. Kalau yang mau diadili sesat atau tidak sesat, mereka jelas sudah
sesat, menurut syariat Islam, orang yang sesat harus diminta bertobat, mereka
sudah murtad.
Mereka
diajak kembali kepada Islam, gampangnya itu saja. Kalau diadili, tapi tetap
dalam kemurtadanya buat apa diadili,
Apanya
yang diadili. Jadi mereka diajak kembali masuk kepada Islam, kalau diajak tidak
mau, ya menurut syariat Islam hukumnya dihukum mati. Kalau mau diadili harus
ada Mahkamah Syariah seperti ini, baru bisa. Kalau pengadilannya tidak bisa
menilai benar dan tidak sesuai syariah Islam ya susah. Janganlah merusak ajaran
Islam dengan ketidakjelasan. Kita sudah pengalaman dalam kasus Playboy, dibawa
ke pengadilan tapi keputusannya tidak jelas. Yang mengatakan tuntutan tidak
bisa diterima karena KUHP tidak berlaku, harus mengikuti UU Pers, ya bagaimana
kalau terulang seperti tidak akan ada penyelesaiannya. (novel)
No comments:
Post a Comment